'/> Lafazh Musytarak, ‘Amm, Khash Dan Dalalahnya

Info Populer 2022

Lafazh Musytarak, ‘Amm, Khash Dan Dalalahnya

Lafazh Musytarak, ‘Amm, Khash Dan Dalalahnya
Lafazh Musytarak, ‘Amm, Khash Dan Dalalahnya
Materi  Ushul Fiqih
A.    Pendahuluan
Ushuliyyah ialah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain ialah qaidah penggalian aturan dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah ialah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan. 
Sumber aturan ialah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan aturan yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah sanggup mempermudah fakif untuk mengetahui aturan Allah dalam setiap insiden aturan yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang sanggup disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Salah satu unsur penting yang dipakai sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam ialah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan fatwa dalam tetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. 
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui ialah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya ialah lafadz musytarak, ‘aam dan lafadz khas. Makalah ini akan membahas lafadz  musytarak, ‘aam dan lafadh khas secara lebih mendalam.


B.     Rumusan duduk masalah
Dari uraian diatas sanggup ditarik beberapa  rumusan masalah:
1.      Bagaimana perihal lafazh Musytarak, ‘Aam dan khash?
2.      Bagaimana dalalahnya lafazh Musytarak, ‘Aam dan khash?
3.      bagaimana bentuk ( shigat ) lafadaz 'aam? 

C.      Pembahasan
1.    Perihal lafadz Musytarak, ‘Aam, dan Khash
a.    Lafazh Musytarak
Umumnya ulama ushul, menempatkan lafazh musytarak ini pada kelompok al-khâsh,dan al-‘âm yaitu dilihat dari segi penetapan penempatan lafazh bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafazh musytarak sebagaimana dijelaskan oleh Abû Zahrah[1] adalah:
الـمـشـتـرك هـواللـفـظ الذى يـدل عـلى مـعـنـيـيـن أوأكـثـر بـوضـع مخـتـلـف
 Musytarak ialah suatu lafaz yang memperlihatkan kepada pengertian ganda atau lebih dengan penggunaan berbeda.
Lafazh disebut istytirak disyaratkan dua hal, yaitu: terdapat beberapa penerapan suatu lafaz dan juga terdapat beberapa pengertian dari lafaz, sehingga suatu lafaz diterapkan dua kali atau lebih untuk dua pengertian atau lebih.[2]
Contohnya ialah lafazh mata, dimana mempunyai pengertian bahasa yaitu mata yang melihat, mata air, mata-mata, matahari, mata uang, dan yang lainnya. Akan tetapi saat lafaz mata itu dilafazkan, maka tidaklah dimaksudkan keseluruhan pengertian tersebut, akan tetapi yang dimaksud ialah salah satunya.[3]
b.    Lafadz ‘Aam
Lafadz ‘Amm ialah suatu lafadz yang memperlihatkan satu makna yang mencangkup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu .[4]
Adapun dalam pendapat ulama’ Hanafiyah mendefinisikan lafal ‘amm sebagai berikut :
كل لفظ ينتظم جمعا سواء آكان بالفظ او بالمعنى
Artinya : setiap lafad yang meliputi banyak, baik secara  lafad maupun makna (Al- BAdzdawi :1:33)
Menurud ulama; syafi’iyah , diantaranya al-ghozali :

الفظ الوحد الدال من جهة واحدة على شيئين فصاعدا
Artinya : satu lafad yang dari satu segi mengambarkan dua makna atau lebih.
Menurut al – badzdawi :
الفظ المستغرف جميع ما يصلح له بوضع واحد
Artinya : lafad yang meliputi semua yang cocok untuk lafal tersebut dengan satu kata.[5]
Contoh lafadz amm ibarat kata-kata “ Al- insani dalanm firman Allah :

Artinya: Sesungguhnya insan itu benar-benar berada dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan ama saleh.
Kata-kata Al insani yang artinya insan dalam ayat ini meliputi dan mencangkup seluruh makhluk yang disebut manusia.(Zaina Abidin.1975.68)
c.    Lafadz khash
Lafadz khash ialah lafadz yang dipakai untuk menunjukkan sesuatu arti khusus, contohnya satu orang atau hal atau barang tertentu, ibarat si Ahmad itu , Bangku itu.[6]
Lafalz khusus ini ada kalanya dipergunakan untuk seorang, barang, atau hal tertentu seperti; Abdullah, radio, atau puasa ramadhan. Dan ada kalanya kalimat ini dipakai untuk dua orang atau barang ibarat dua orang suami istri. Lafalz khusus ini dipergunakan juga untuk lebih dari dua orang yang tidak dibatasi ibarat lafalz ar-rijaal (beberapa orang pria atau tiga orang laki-laki). Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafalz yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa kepada batasan. Artinya tidak meliputi semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.

2.    Dalalah lafadz Musytarak, ‘Aam dan khash
a.    Dalalah lafadz Musytarak
Para ulama Ushul menyatakan, bahwa pengertian isytirak berbeda dengan pengertian asli. Dengan kata lain, suatu lafaz yang tarik menarik antara kecenderungan isytirak dengan kecenderungan infirad (satu pengertian), maka yang mayoritas dalam zhann  ialah pengertian infirad, dan kecenderungan pengertian isytirak pun menjadi tidak kuat. Dengan kata lain, dengan hilangnya pengertian isytirak, maka terdapat pengertian yang lebih kuat. Karena itu, bila terdapat di dalam al-Qur’an suatu lafaz yang mempunyai kecenderungan isytirak dan tidak, maka yang diperkuat ialah ketiadaan isytirak.[7]
Kemudian, apabila terdapat lafaz isytirak, seorang mujtahid wajib menguatkan salah satu pengertiannya, dengan qarinah lafzhiyah atau haliyah yang merperkuat makna yang dimaksud. Yang dimaksud dengan qarinah lafzhiyyah ialah apa yang dinyatakan orang yang menyatakan lafaz tersebut; sedangkan qarinah haliyah ialah sebagaimana kebiasaan orang Arab saat menerima suatu nash dalam permasalahan tertentu.[8]
Dalam hal penetapan dalâlah lafaz musytarak dan pengamalannya, para ulama telah tetapkan jikalau ditemukan di dalam nash (al-Qur`an dan Sunnah) makna lughawi  dan makna istilah, maka yang dipegangi ialah makna istilah syar‘î. Jika lafaz musytarak itu mengandung beberapa makna lughawî, maka mujtahid wajib  melaksanakan ijtihad untuk memilih arti yang dimaksud. Sebab, terang tidak seluruh arti yang dikehendaki oleh lafaz nash tersebut (oleh syar‘î), melainkan salah satu saja dari beberapa arti itu.
Sementara itu, Wahbah Zuhailî[9] menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan musykil ialah suatu lafaz nash yang tersembunyi, artinya yang disebabkan oleh lafaz itu sendiri. Oleh lantaran itu, untuk mengetahui maknanya diharapkan penelitian yang mendalam dengan memperhatikan qarînah yang sanggup menjelaskan maksudnya. Sebagai contoh, contohnya firman Allah:
والمطلقـات يـتــربصن بأنـفـسـهـن ثـلاثـة قـروء ... (البـقـرة/٢ :۲۲۹)
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (beriddah) dengan tiga kali suci… (QS. Al-Baqarah/2:229)
Dalam ayat di atas terdapat lafaz qurû` (قـرؤء) yang mengandung dua arti atau ganda yaitu: suci dan haid. Oleh lantaran itu perempuan yang ditalak oleh suami mereka itu apakah ber-‘iddah dengan tiga kali suci atau tiga kali haid.
Adapun yang menjadikan kemusykilan terhadap lafaz nash adalah lantaran lafaz itu musytarak, yaitu suatu lafaz nash yang mengandung beberapa arti sedangkan shighat-nya sendiri tidak memperlihatkan kepada makna tertentu.
b.    Dalalah lafalz ‘Amm
para ulama setuju bahwa lafazh ‘Amm yang disertai qorinah (indikasi) yang memperlihatkan penolakan adanya takhsis ialah qath’i dilalah. Mereka pun bersepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qorinah yang memperlihatkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
          Menurut jumhur ulama’ (malikiyah, syafi’iyyah, dan hanabilah), dilalah ‘amm ialah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk pecahan dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan kemungkinan ini pada lafazh ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak sanggup dibenarkan menyatakan bahwa dilalahnya qath’i. [10]
Dalam hal pengunaan lafaz aam sebagai dalil syar’I, ada dua hal yang harus diperhatikan:
Lafaz amm sehabis di takhsis
Para ulama’ sepakat, bahwa tidak diperbolehkannya memakai lafalz amm sebagai dalil syar’I sebelum dicari terlebih dahulu ada dan tidak adanya takhsis, kaidahnya adalah
ما من عام الاخصص
Tidak ada lafadz yang umum kecuali harus di takhsis
Serupa dengan kaidah ini dalah
العمل بالعام قبل البحث عن الحصص لا يجوز
Mengamalkan lafadz ‘aam sebelum dicari mukhosisinya tidak diperkenankan
Oleh akhirnya maka untuk memanfaatkan dalil ‘aam itu harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu ada tidaknya mukhosisnya. Apabila tdak ada mukhosisnya maka boleh berpegang pada keumuman dalail ‘aam itu sehingga tetap terus berlaku arti keumuman itu maka hukumnya beararti umum.
Adapun dalil ‘aam itu sehabis ditakhsis tetap berlaku bagi satuan-satuan lain yang tidak ditakhsis, kaidahnya dalah:
العام بعدالنخصيص حجلة في البا قلى
Suatu ketentuan ‘aam sehabis ditakhsis tetap berlaku sisa-sisa yang tidak dikhususkan.
Suatu ketentuan aturan yang sudah berlaku contohnya perempuan yang dicerai itu harus beriddah tiga uruu’ khusus yang hamil iddahnya empat bulan sepuluh hari, berarti yang tidak hamil, baik yang dicerai mati, cerai hidup, cerai sakit, dan sebagainya (dalam arti umum), tetap ber idah tiga quru’.
Dalalah khash menunjuk kepada dalalah qath'iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan aturan yang ditunjukkannya ialah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
                                                        فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Artinya: Tetapi jikalau ia tidak menemukan hewan korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..
(Al-Baqaarah:196)
Lafadh tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas ialah khas, yang mustahil diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh lantaran itu dalalah maknanya ialah qath'iy dan dalalah hukumnya pun qath'iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai pola hadits Nabi yang berbunyi:

في كل أربعين شاة شاة
"pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing".
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya ialah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut mustahil diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut ialah qath'iy.
Tetapi berdasarkan Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat ialah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu sanggup dilakukan bukan hanya dengan memperlihatkan seekor kambing, tetapi juga sanggup dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan. 
Lafal kahas yang ditemui dalam Nash diartikan sesuai dengan arti sebenarnya, selama tidak ditemukan dalil yang memalingkannya pada arti lain. contohnya, aturan yang dijatuhkan kepada orang kepada orang yang menuduh berbuat zina ialah delapan puluh puluh kali dera, tidak poleh lebih dan dihentikan kurang. Namun apabila ditemukan dalil yang sanggup memalingkan artinya pada arti lain, maka eksekusi tersebut dilaksanakan sesuai dsengan dilalah  dari  buktis itu. Seperti halnya dalam hadis yang menerangkann bahwa untuk setiap emapt puluh ekor kambing dikeluarkan zakatnya seekor dan setiap orang mengeluarkann zakat fitrahnya satu sha’ gandum atau kurma. Madzhab Hanafi mengangga\p boleh menyerahkan seekor kambing atau jumlah uang seharga seekor kambing. Demkian pula dalam zakat fitrah, boleh menyershkan satu sha’ gandum atau uanag seharga satu sha’ gandum atau kurma. Hal ini lantaran zakat ditujukan untuk kepentingan fakir miskin, yanag pada suatu waktu lebih memerlukan barang dari pada uang dan pada waktu lainnya lebih memerllikan uang dari pada barang. Makara , lafal yang mutlaq dilaksanakan sesuain dengan artinya dan kalauai di- qaidkan sesuai pula dengan qaidnya.[11]  
Perbedaan Pendapat Akibat ke khotian Dilalah Khash
a)      Menurut ulama Hanafiah
Lafadz khas tidak memerlukan klarifikasi dari hadits , lantaran dilalah khash tidak memerlukan penjelasan. Jika ada nash lain yang bertentangan dengan lafadz khash tersebut maka dianggap sebagai nasakh lafadz khahs.
b)      Menurut jumhur ulama
Bahwasanya lafadz khas itu dilalahnya qath’I namun  tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna, sehingga apabila terdapat naskh itu dipandang sabagai klarifikasi terhadap lafadz khas itu
Perbedaan itu Contohnya  pada duduk masalah ruku’:

واركعوامعاراكعين
Artinya: ruku’lah bersama orang orang ruku’
Ulama’ hanafiah memandang sebetulnya ruku’ dalam sholat itu sebagai lafadz khas untuk suatu perbuatan yang maklum yaitu condong dan bardiri tegak tanpa tuma’ninah
Adapun hadits yang memerintahkan keharusan tuma’ninah ialah :
قم فصل لانك لم تصل
Berdirilah dan sholatlah lantaran engkau belum sholat
Disini ulama’ hanafiah beropini bahwa tuma’ninah bukan syarat sahnya sholat , berdasarkan mereka seandainya itu syarat sahnya sholat berarti merupakan penambahan atas lafadz khas AlQuran yang jelas.
Sedangkan berdasarkan jumhur memandang lafadz khash itu mempunyai kemungkinan adanya klarifikasi atau perubahan, maka mereka memandang lafadz khash itu sebagai lafadz mujmal. Olah lantaran itu mereka mendapatkan kemungkinan adanya penambahan atas lafadz khas yang terdapat dalam Alquran dengan hadits minggu yang merupakan penjelasanya .(Achmad Syaf’I.2007,190)
3.    Bentuk (shigat ) lafadaz 'Aam
Lafadz-lafadz yang menunjukkan’Amm  (umum)
1.      Lafadz kullun, jami’un, kaffah, ma’sya  (artinya seluruhnya)
Misal:
كُل نفسٍ ذائقةُ  الموتِ
Artinya :tiap-tiap yang berjiwa, akan mencicipi mati. (QS. Al- Imran : 185)
2.      Isim istifham ialah man ( siapa), ma ( apa), aina, ayun (dimana), dan mata (kapan), misalnya
Missal dalam lafadz Ma ( apa)  
ما سلككم فى سقر
Artinya : apa lantaran kau masuk neraka? “ (QS. Al-Muddasir:42)
3.      Isim syarat , seperti  man (barang siapa)  ma (  apa saja),  dan  ayyun  (  yang mana saja)  
misalnya dalam lafadz ayyun
اياما تدعوا فله الاسماء الحسنى
Artinya : Denagn apa saja kau seru dia, maka ia mempunyai nama-nama yang baik” (QS. Al-Isra’:110)

4.      Isim mufrad yang ma’rifad dengan  alif lam ( al atau idhafah)
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah :275)
5.      Jama’ yang di ta’rifkan ( ma’rifat ) dengan alif lam atau dengan idhafah
Misalnya: السارق والسارقة فا قطعوا ايديهما    pencuri pria dan perempuan ( tanpa kecuali) hendaknya dipotong tangannya.     
6.      Isim nakirah  dengan sususnan nafi (meniadakan atau mengingkari) misalnya:        لا وصية لوارس    berarati secara umum , jago waris itu dihentikan mendapatkan wasiat untuk warisannya.                               
7.      Isim mausul ( alladzi, alladziina, allatii, maa dan sebagainya)[12]
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang makan harta belum dewasa yatim dengan aniaya, benar-benar orang- orang itu makan api pada perut mereka” (QS. An-Nisa’ :10)
D.    Kesimpulan
Musytarak ialah lafald yang di letakkan untuk beberapa makna yang majemuk dengan penetapan yang bermacam-macam.
‘Aam berdasarkan bahasa artinya merata, yang umum; dan berdasarkan istilah ialah " Lafadz yang mempunyai pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu ".Dengan pengertian lain, ‘am ialah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Mazhab Hanafi beropini bahwa dalalah al-'am merupakan dalalah qat'iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah dan sebagian Hanafiyah beropini dalalah al-'am bersifat zanni sehingga diharapkan takhshish.
Pegertiannya ialah “suatu lafadh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”. Atau pengertian yang lain ialah “Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).” Al-Bazdawi.
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath'iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan aturan yang ditunjukkannya ialah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.
Lafadz-lafadz yang menunjukkan’Amm yaitu diantaranya Lafadz kullun, jami’un, kaffah, ma’sya, Isim istifham, Isim syarat, dan lain sebagainya.


E.     Daftar Pustaka
Amiruddin ,Zen. Ushul fiqih. TERAS. Yogyakarta.2009.
Sya‘bân ,Zakî al-Dîn. Ushûl al- Fiqh al-Islâmî.
Syafe’i,Rachmat Ilmu Ushul Fiqih. CV PUSTAKA SETIA. Bandung. 1999.
uman ,Khoirul. Dan Ahyar Aminudin. Ushul Fiqih II . PUSTAKA SETIA. Bandung  2001.
Zuhailî, Wahbah. Ushûl al-Fiqh al-Islâmî  jil. I. Dâr al-Fikr. Damaskus. 1986.


[1] Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, t.t.p.: t.p., t.t., h. h. 337.
[2]  Wahbah Zuhailî, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî  jil. I (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986),  hal. 283.
[3] Ibid hal. 283
[4] Rachmat syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. CV PUSTAKA SETIA. Bandung. Hal.193
[5] Ibid. hal 193-194
[6] Zen Amiruddin. Ushul fiqih. TERAS. Yogyakarta.2009. hlm.131 
[7] Ibid hal. 285
[8]Ibid hal. 286
[9] Ibid hal. 338
[10] Op. Cit. Rachmat syafe’i. Hal 195
[11] Khairrul umam dan Achyar Aminudin. Op.cit. hal.90
[12] Khoirul uman. Dan Ahyar Aminudin. Ushul Fiqih II . PUSTAKA SETIA. Bandung . 2001. Hlm.62-69
Advertisement

Iklan Sidebar