'/> Gejala Psikologi Dalam Keberagamaan

Info Populer 2022

Gejala Psikologi Dalam Keberagamaan

Gejala Psikologi Dalam Keberagamaan
Gejala Psikologi Dalam Keberagamaan
GEJALA PSIKOLOGI DALAM KEBERAGAMAAN

Contoh  Makalah Materi : Psikologi Islam 


A.    PENDAHULUAN
Psikologi Islam sebagai sebuah aliran gres dalam dunia psikologi mendasarkan seluruh bangunan teori-teori dan konsep-konsepnya kepada Islam. Islam sebagai subjek dan objek kajian dalam ilmu pengetahuan harus dibedakan kepada tiga bentuk yakni Islam sebagai ajaran, Islam sebagai pemahaman dan pemikiran serta Islam sebagai praktek atau pengalaman. Islam sebagai anutan bersifat universal dan berlaku pada semua daerah dan waktu dalam bahasa Muhammad Arkoun salih likulli makan wa zaman (berlaku dalam setiap waktu dan tempat). Kecuali itu, Islam sebagai anutan juga bersifat adikara dan mempunyai kebenaran normatif yaitu benar berdasarkan pemeluk agama tersebut. Makara bebas ruang dan waktu. Sementara islam sebagai pemahaman dan praktek selalu berafiliasi dengan ruang dan waktu. Sehingga bersifat partikular, lokal dan temporal. Pada gilirannya membuat perbedaan berdasarkan waktu dan tempat.

Hakikat psikologi Islam sanggup dirumuskan sebagai suatu kajian Islam yang berafiliasi dengan aspek-aspek dan sikap kejiwaan manusia, semoga secara sadar ia sanggup membentuk kualitas diri yang lebih tepat dan mendapat kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.



B.     PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian di atas, kami mengambil dua permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah tanda-tanda psikologi dalam keberagamaan?
2.      Bagaimanakah tinjauan tanda-tanda psikologi dalam menjalankan ibadah puasa?

C.  PEMBAHASAN
1. Gejala Psikologi dalam Keberagamaan
Keberagamaan dalam pelaksanaannya merupakan tanda-tanda yang terbentuk dari aneka macam unsur, dimana antara satu dengan yang lainnya berkaitan untuk melahirkan satu kesatuan pengalaman yaitu pengalaman beragama. Joachim Wach dalam bukunya yang berjudul The Comparative Study of Religions menyampaikan bahwa pengalaman beragama merupakan respons terhadap sesuatu yang diyakini sebagai Realitas Mutlak, kemudian diungkapkan dalam bentuk pemikiran, perbuatan dan komunitas kelompok. Sedangkan berdasarkan al-Asy’ary yaitu respons yang terungkap dalam pembenaran hati, pernyataan lisan, dan perbuatan praktis.[1] Dengan demikian, agama atau beragama gres hadir dalam diri insan bila sudah terjalin korelasi antara dua pihak, yakni insan yang memberi respons dan pranata yang diyakini tiba dari Tuhan.

Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh sebab itu kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia gaib. Dari sini, muncul sikap keagamaan dalam diri seseorang yang mendorong untuk bertingkah laris sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama.[2]

Sikap keagamaan tersebut yaitu wujud dari adanya komponen-komponen psikologis yang meliputi kognisi, afeksi, dan konasi. Komponen kognisi akan menjawab perihal apa yang dipikirkan atau dipersepsikan perihal obyek. Dalam hal ini nafslah alat utama pengetahuan, bukan alat indera. Nafs menafsirkan pengalaman inderawi secara aktif. Tidak semua stimulus (sentuhan yang sanggup merangsang acara inderawi) kita terima. Perilaku insan bukan sekedar respon pada stimulus, tetapi produk dari aneka macam gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Perilaku yaitu hasil interaksi antara individu dengan lingkungan nafsiologisnya.

Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Setelah orang melaksanakan penilaian kognitif, maka komponen afektif melaksanakan penilaian emosional, yang sanggup bersifat positif atau negatif. Dari penilaian afektif ini muncul perasaan senang atau tidak senang. Sedangkan komponen konasi yang memilih kesiapan tanggapan berupa tingkah laris tehadap objek.[3]
Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan interaksi yang kompleks. Kekuatan iman berfungsi mengkoordinasi ketiga komponen itu dalam interaksi yang harmonis, sehingga tingkah laris seseorang ditandai oleh adanya iman. Prinsip dari tingkah laris insan manusia beriman yaitu konfigurasi motif, sifat dan nilai yang sesuai dengan kehendak ilahi.[4] Sejalan dengan itu, sanggup dikatakan bahwa motivasi merupakan daya dorong untuk melaksanakan sesuatu. Dan diantara daya dorong tersebut yaitu bersumber dari upaya untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Dan kebutuhan jiwa yang utama yaitu ibadah, maka sanggup disimpulkan bahwa motivasi utama insan dalam bertingkah laris yaitu ibadah.[5]

2.    Tinjauan Gejala Psikologi dalam menjalankan ibadah puasa
Dari pembahasan di atas dikatakan bahwa kebutuhan jiwa yang utama yaitu beribadah, sebagaimana yang terdapat dalam surat adz-Dzariat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Dan Aku tidak membuat jin dan insan melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariat: 56)
Tugas ibadah ini berafiliasi erat dengan kiprah sebagai khalifah. Ibadah sebagai implementasi korelasi vertikal merupakan wujud dari ketundukan dan kepatuhan seorang hamba kepada sang kholik. Salah satu bentuk ibadah tersebut yaitu puasa.

Puasa merupakan salah satu bentuk dedikasi dan cara mendekatkan diri pada Allah SWT yang intinya yaitu pekerjaan ruhani, sekalipun dalam pelaksanaannya melibatkan perbuatan jasmani, kejiwaan dan sosial.
Dalam ilmu Al-Qur’an kontemporer, puasa yang menjadi belahan dari ritual keagamaan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, di kategorikan salah satu mukjizat Al-Qur’an yang tersingkap sehabis berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Menurut Glock dan Stark (Robertson, 1988) ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu:[6]
Pertama, dimensi keyakinan, yang berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Dalam hal ini orang yang berpuasa berusaha menafsirkan ayat yang terdapat dalam al-Quran suratal-Baqarah ayat 183.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kau semoga kau bertakwa”.
Kedua, Dimensi praktik agama yang mencangkup sikap pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menyampaikan janji terhadap agama yang dianutnya. Setelah tahap penafsiran orang tersebut berusaha menjalankan puasa sebagai praktik agama.

Ketiga, Dimensi pengalaman, dimensi ini yaitu belahan dari keberagamaan yang berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Dalam hal ini seseorang yang telah menjalankan ibadah puasa merasakan nikmat dan senang dikala memasuki bulan Ramadlan.

Keempat dimensi pengetahuan agama yang mengacu pada keinginan bahwaorang yang beragama paling tidak mempunyai pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan. Seseorang yang berpuasa paling tidak harus mengetahui dasar-dasar pengetahuan perihal agama . contohnya mengenai syarat-syarat, hal-hal yang membatalkan puasa, dan lain-lain.

Kelima, dimensi pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang. Bila tindak puasa kita telaah dan kita renungkan akan banyak sekali hikmah dan manfaat psikologinya. Diantaranya yaitu puasa mengandung falsafat hidup yang luhur dan mantap. Puasa akan memberi efek positif terhadap rasa (emosi), cipta (rasio), karsa (will, karya (performance), bahkan kepada ruh kita apabila rukun syaratnya dipenuhi dan dilakukan dengan penuh sabar dan ikhlas.[7]

Az Zarqani menuturkan bahwa puasa mempunyai tiga dimensi sekaligus. Tiga dimensi utama tersebut yaitu sisi kejiwaan (ruhiyyah; religion psychological) yang bersifat transenden, privat, dan tidak terkait dengan korelasi sosial. Kedua, dimensi moral (akhlaqiyyah) yang meliputi pendidikan dan penyesuaian kedisiplinan, ketaatan, kepatuhan dan lain sebagainya. Dimensi kedua inilah yang menyebabkan puasa mempunyai nilai sosial. Terakhir, dimensi kesehatan yakni dengan berpuasa sanggup memperbaiki kualitas fisis, medis, dan biologis seseorang.[8]

D.    ANALISA
Dalam pembahasan di atas, sanggup diketahui bahwa tanda-tanda psikologi sangat besar lengan berkuasa besar dalam keberagamaan seseorang. Dan tidak semua stimulus harus diterima oleh indera. Namun dalam realitasnya banyak orang yang menelan stimulus secara mentah-mentah tanpa diproses melalui filter berupa agama. Misalnya, dikala sedang berjalan-jalan melewati perkebunan mangga bila stimulus itu ditelan secara mentah-mentah niscaya  bagi orang yang menginginkan mangga dan tidak mepunyai pengetahuan perihal agama niscaya akan eksklusif mengambil mangga tersebut tanpa mempedulikan mangga itu milik siapa?, tanpa mempedulikan status halalan thoyyibah. Berdasarkan nilai dan norma yang dianalisis melalui jalur iman, dalam hal ini seseorang yang mempunyai iman tidak akan mengambil mangga tersebut tanpa izin dari pemilik mangga. Degan adanya iman akan terjadi interaksi yang serasi antara ketiga komponen (kognisi, afeksi, dan konasi).

Keberagamaan merupakan suatu respon terhadap realitas mutlak yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laris yang kami contohkan dalam hal ini yaitu puasa. Menurut teori di atas munculnya sikap puasa merupakan wujud dari kesadaran beriman terhadap sesuatu yang dianggap sebagai realitas mutlak. Namun kenyataannya masih banyak dari insan yang menganggap ibadah itu hanya formalisme belaka sebagai orang yang beragama Islam contohnya diwajibkan untuk berpuasa.

E.     KESIMPULAN
1.      Gejala psikologi dalam keagamaan merupakan suatu wujud dari adanya komponen-komponen psikologis yang meliputi kognisi, afeksi, dan konasi. Komponen kognisi akan menjawab perihal apa yang dipikirkan atau dipersepsikan perihal obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Setelah orang melaksanakan penilaian kognitif, maka komponen afektif melaksanakan penilaian emosional, yang sanggup bersifat positif atau negatif. Sedangkan komponen konasi itu yang memilih kesiapan tanggapan berupa tingkah laris tehadap objek.

2.      Tinjauan psikologi dalam menjalankan puasa yaitu wujud dari kecerdasan emosional. Sebagaimana kita tahu, puasa yaitu arena melatih pengendalian diri yang tepat dalam hal makan, yang menjadi kebutuhan penting bagi setiap orang.


F.     PENUTUP

Demikianlah makalah yang sanggup kami sajikan. Kami sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan. Semoga makalah ini sanggup bermanfaat bagi pemakalah pada khususnya dan pembaca pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA
A, Muslim. Kadir. Ilmu Islam Terapan; Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2003.
Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami: Studi perihal Elemen Psikologi dari al-Qur’an. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2004
Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2005.
Djumhana, Hanna Bastaman. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 1997.
Forum KALIMASADA. Kearifan Syariat: menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis dan Sosiohistoris. Khalista: Surabaya. 2009.
Jalaluddin. Psikologi Agama. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2002.
Sukanto dan Dardiri Hasyim. Nafsiologi: Refleksi Analisis Tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia. Risalah Gusti: Surabaya. 1995.





[1] Muslim A. Kadir. Ilmu Islam Terapan; Menggagas Paradigma Amali dalam Agama Islam. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2003. Hal 119
[2] Jalaluddin. Psikologi Agama. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. 2002. Hal 197
[3] Sukanto dan Dardiri Hasyim. Nafsiologi: Refleksi Analisis Tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia. Risalah Gusti: Surabaya. 1995. Hal 158-159
[4] Ibid. 161
[5] Baharuddin. Paradigma Psikologi Islami: Studi perihal Elemen Psikologi dari al-Qur’an. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2004. Hal 252.
[6] Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2005. Hal 77-78
[7] Hanna Djumhana Bastaman. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 1997. Hal 181
[8] Forum KALIMASADA. Kearifan Syariat: menguak Rasionalitas Syariat dari Perspektif Filosofis, Medis dan Sosiohistoris. Khalista: Surabaya. 2009. Hal 250
Advertisement

Iklan Sidebar